Di Balik Glamornya Dunia Mengemis

Di Balik Glamornya Dunia Mengemis

Oleh : Hendriko Firman**

Kalau kita melihat pengemis apakah yang pertama kali terlintas dalam pikiran kita tentang mereka? Kasihankah? Ibakah? Atau muakkah? Kejadian menarik terjadi pada saat penulis di bus kampus. Dulunya penulis melihat bahwa pengemis adalah produk dari rendahnya pendapatan perkapita dan akibat dari korupsi yang tidak pandang bulu. Dan merekalah korbannya. Seketika mindset penulis masih berpikir bahwa pengemis dan gepeng (gelandangan dan pengangguran) adalah korban disini. Tapi tatkala penulis melihat peristiwa di bus kampus untuk kuliah jam 10 pagi. Peristiwa tersebut telah merubah pikiran penulis seluruhnya tentang dunia mengemis ini.

Saya kebetulan dibus kampus berdiri saat hendak kuliah waktu itu, karena kursi tidak ada yang kosong, setelah 5 menit bus melaju, maka terdengarlah oleh saya sebuah ringtone HP polyphonic yang cukup keras. Saya berpikir kok ponselnya tidak diangkat karena sudah cukup lama berbunyi, akhirnya saya memberanikan diri saya untuk melihat kebelakang dan sontak hampir semua mahasiswa yang di kursi belakang yang merasa terganggu dengan suara itu bertindak seperti apa yang saya lakukan, tahukah para pembaca apa yang saya lihat dan mahasiswa di atas bus Hino tersebut. Saya melihat seorang pengemis yang sedang mengakat HP yang ternyata sama tipenya dengan tipe HP saya. Sekali lagi saya tekankan para pembaca bahwa ada seorang PENGEMIS YANG SEDANG MENGANGKAT HP. Dia di belakang saya dengan pakaian rombeng dan kucel dengan istrinya disebelah dengan menggunakan “jilbab telanjang” (menggunakan jilbab tapi bajunya lengan pendek sehingga kelihatanlah tangannya dan kelihatan lehernya akibat kerah baju yang belel). Saya melihat mahasiwa di sebelah saya berdecak kagum dengan temannya. Dan yang lain kelihatan melongo.

Tak dinyana saya sontak terkejut, seketika juga saya mulai dimasuki oleh berbagai perdebatan pikiran, yang mencoba menerka dan menganalisa fenomena yang terjadi barusan. Saya mulai dari pemikiran negatif tentunya dan tidak luput pula saya menelaah dari sudut postif. Tapi saya tidak menemukan jawabannya karena menurut saya hal ini adalah peristiwa yang kasuistis sekali.

Sekarang kita kembali ke dalam topik sebenarnya. Hal yang saya paparkan diatas adalah sebuah refleksi dari apa? Sebuah fenomena apa? Kenapa hal tersebut menjadi kontradiksi dalam tatanan masyarakat global saat sekarang ini?

Bukan bermaksud menjustifikasi secara gamblang tapi tulisan saya ini mencoba melihat kasus diatas sebagai fenomena yang cukup menggilitik apabila kita tinjau. Di sisi lain tulisan ini juga akan mencoba secara objektif dan kronologis kenapa masalah ini saya besar-besarkan dan kenapa hal ini menurut saya ‘janggal’ bila dilihat dalam Negara yang miskin tapi tingkat konsumtifnya minta ampun ini.

Kita mulai dari masalah etymology dari pengemis itu sendiri. Menurut saya pengemis adalah individu ataupun sebuah kelompok yang mengandalkan nasibnya dari bantuan moril ataupun materil orang lain sebagai penunjang hidup mereka. Dalam bahasa Inggris pengemis berarti beggar yang berarti pengemis, orang minta-minta, kere. Jadi dari hal tersebut kita bisa menarik kesimpulan sendiri bagaimana kehidupan pengemis itu sendiri.

Pengemis dan Sosial

Kalau kita melihat seorang pengemis menggunakan ponsel berarti secara etimlogi dia bukanlah pengemis. Karena dia menggunakan ponsel berarti di sisi lain kebutuhan yang primer dan sekunder telah terpenuhi. Itulah kerangka saya mulai berpikir, karena HP menurut saya adalah barang yang tersier (mewah), memang relatif apabila kita lebih pertanyakan lagi jenis HP tersebut ada yang bilang itu primer ada juga yang bilang tersier. Tapi kita coba merelatifkan di Indonesia ini bahwa ponsel adalah item yang mewah karena punya ponsel berarti harus memiliki pulsa juga. Memang banyak sekali paparan dan ekplanasi yang harus kita jelaskan disini tapi dari penulis pun masih bersikap heran terhadap hal ini.

Pertama yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah seluruh pengemis rata-rata kehidupan mereka seperti ini? Apakah para mengemis mendapatkan pendapatan yang besar sehingga bisa membeli barang tersier ini? Apakah pengemis itu nyaman dan bahagia menjalani apa yang mereka kerjakan? Dan pertanyaan besar yang mengkover semua ini adalah apakah pengemis sengaja mengemis dan menghinakan diri mereka untuk mendapatkan kebutuhan finansial dari belas kasihan orang lain?

Kalau dikatakan bahwa mengemis mendapatkan banyak pemasukan sulit juga kita iyakan, karena kalau melihat dari terminology berpikir seperti tersebut hal ini menjadi sebuah kontradiksi di saat lahan perkerjaan yang sulit dan sangat keras persaingannya. Mengemis lagi-lagi adalah sebuah media pekerjaan yang terakhir dari sebuah pilihan, orang tidak akan sengaja melakukan mengemis kalau mereka mendapatkan alternatif pekerjaan lain. Jadi kalau kita coba telaah lagi apakah rata-rata kehidupan pengemis cukup terpenuhi kebutuhannya? kita juga tidak bisa mengatakan iya, karena ini masalah dimana dan kapan sipengemis melakukan bisnisnya ini, bisa jadi untuk ukuran kota Padang rasa empati masyarakat terhadap pengemis masih tinggi dan bisa jadi di kota-kota besar lainnya menganggap bahwa pengemis adalah sampah masyarakat. Khususnya kota Padang, pengemis tidak lebih dari kumpulan masyarakat yang dalam stratifikasi masyarakat tentulah tidak termasuk, karena mereka kaum papa, yang hidupnya tidak beraturan dan serampangan. Sehingga lahan perkerjaan tidak ada bagi mereka dan bahkan lebih eksterem statusnya sebagai manusia patut dipertanyakan. Sehingga pengemis menjadi simbol sebuah ketertindasan dari hak-hak yang terampas, ketertindasan dari realitas kehidupan politan yang memang benar-benar telah sinting, dimana seyongyannya kehidupan mereka di lindungi dan diayomi.

Jadi ringkasannya adalah pengemis itu tidak semuanya seperti kasus yang kita bicarakan diatas, tapi toh tidak banyak juga pengemis yang mempunyai lifestyle seperti di atas yang cukup konsumtif. Dalam masalah ini pengemis sekarang benar-benar telah mempunyai tujuan target yang lebih wah untuk kita cermati, sebelumnya tujuan hidup adalah untuk mengganjal perut di esok hari, maka sekarang tujuan hidup lebih prestise lagi kalau kita cermati, dimana tujuan hidup pengemis adalah menjadi orang kaya. Kalau begitu kontan saja saya bilang bahwa itu omong kosong, bahwa PNS rendahan yang hidup dari mencerek terhadap pemerintah saja tidak berani bermimpi seperti itu. Lagi-lagi ini masalah fenomena yang sangat langka untuk kontemporer ini, seakan-akan faktor-faktor kiamat telah mulai Nampak disini bahwa seorang yang tidak punya apa-apa bermimpi untuk berlomba-lomba membangun sebuah istana kekayaan bagi diri mereka sendiri.

Seorang pengemis dalam masyarakat hedonis tidak mungkin bisa-bisanya membeli hp dengan alasan memperlancar komunikasi, karena hal tersebut tidak efesien lantaran kalau mempunyai hp berarti harus siap sedia menahan lapar dan haus, atau sebaliknya si pengemis punya hp karena kebutuhan-kebutuhan lain telah terpenuhi. Jadi kasarnya kebutuhan ekonomi telah terpenuhi dan secara ringkasnya makan dan minum serta tempat tinggal tidak ada masalah dengannya. Iya kan? Lihat saja kalau anda punya HP maka untuk ke dokter setidaknya anda pasti bisa walaupun itu sekali setahun. Apakah pengemis adalah refleksi dari kehidupan masyarakat seperti kita juga?

Dalam masalah yang pelik ini kita terlalu sulit membuat konklusi terhadap hidup pengemis dengan mengkonklusikan terhadap apa yang kita lihat dari kehidupan pengemis sebelumnya. Masalah pengemis di Indonesia faktor sengaja atau faktor realita tidak bisa kita singkirkan saja dari pikiran kita, karena ini menyangkut masalah pengaruh dan masalah progressnya negara ini. Apakah hakekat pengemis itu sulit hidupnya atau merasa bercukupan tentunya hal itu adalah kembali ke masalah lifestyle dari si pengemis itu. Tapi tatkala pengemis memang berusaha untuk mentakdirkan hidupnya menjadi pengemis itulah yang patut kita sesali, bagaimana Negara ini bisa maju sedangkan orang-orangnya hanya meminta saja kerjanya, itu pula yang kita lihat dari para pejabat yang corrupt.

Intinya adalah sisi glamor pengemis yang dipaparkan diatas adalah produk dari masyarakat Indonesia yang lebih menunjukan kuantiti dari pada kualiti. Sayang sekali apabila kita lihat keperluan-keperluan yang seharusnya tidak semestinya dibutuhkan, tapi karena alasan tuntutan zaman hal iltu semuanya dibuat menjadi kewajiban. Benar-benar sebuah ironis bukan?

Author: HFK

Stay Hungry. Stay Foolish.

16 thoughts on “Di Balik Glamornya Dunia Mengemis”

  1. Hello, salam kenal.

    Tulisannya tajam dan bagus, tapi cobalah membaginya kedalam paragraf pendek sekitar 4 – 6 baris agar tingkat keterbacaan tinggi.

    Kalau diberikan sub heading kebih oke lagi tuh.

    Sayang tulisan bagus jadi sulit dibaca karena di blok kedalam satu paragraf yang sangat panjaaaaaaaaaanng. :)

    Sekali lagi, salam kenal.

    Salam hangat dari Bandung

  2. kalo dilihat jaman skarang pengemis gak bisa dipercaya lagi soalnya sudah banyak kejadian mereka itu pake agen dan bandar juga.. jadi ada pihak lain yang mengkoordinir mereka
    kasian kita2 jadi korban mereka

  3. Ya, terkadang dunia semakin membingungkan. Antara difinisi makna terkadang ga sinkron sinkron. Pengemis yang notabene di definisikan orang yang meminta-minta belas kasihan dan kehidupan dibawah garis kemiskinan, tapi ternyata ada kondisi seperti diatas..

    sekeradar berbagi koleksi ebook Rahasia Sukses Kaya dari Para Motivator Semoga bermnfaat..

  4. anda akan lebih tercengang lagi ketika tau bahwa, di Surabaya, seorang ‘godfather’ pengemis bisa mempunyai 4 rumah mewah, sebuah CRV, serta 2 buah sepeda motor, bahkan saat ini merencanakan pergi Haji!

    dia nggak perlu turun tangan ngemis, dia cukup memberi suaka bagi pengemis lainnya, dan pendapatan rata2 perharinya mencapai 200 ribu.

    gila kan?

  5. pengemis imagenya orang dgn ketiadaan..
    tapi mereka mau mau masuk ucapkan salam… sok religius..
    kalau dapet uang… salamnya selangit..
    tp kalau cuma dapat maaf… pergi ngak berbekas.

    pikir2 donk

  6. Mungkin lo ga tau, dulu gw liat di koran (jawa pos) kalo ada pengemis itu punya panther new.
    :D
    kayak mafia.
    Bahkan di beberapa bagian indonesia terdapat desa pengemis, mereka naik haji dari mengemis, mereka beli ternak (sapi, dll) dari mengemis.
    Saat musim haji, asrama haji surabaya, bagi yang ingin mengemis disono harus bayar 200rb. :D
    omset mereka jutaan lo perhari saat musim haji.

    Pernah juga baca koran (lupa namanya), ada pengemis di jakarta yang omsetnya 200rb per hari.
    Lalu kalo kalian liat pengemis bawa bayi, belum tentu itu bayinya. Itu bayi disewain ibunya buat dapet fifty2 dari si ortu yang mau ngemis pake bawa bayi.

  7. @fikri
    thanks fikri atas komentarnya.
    memang saya akui ribet banget bacanya.
    soalnya tool di wordpress ini minim.
    sekali lagi terima kasih atas masukannya.

  8. @ all for the comentators
    saya juga terkejut melihat tanggapan2nya,.
    pada dasarnya saya lihat di kota padang memang fenomena ini belum se wah di jawa. tapi ternyata wah nya di jawa memang wah nya wah ya.
    ngeri juga melihat pendapatan per harinya, desa pengmisnya, dan yang lebih parah lagi sikap gak tahu malunya.
    kalau kita mau naif, gimana mau bandingkan indonesia sama negara lain, kalau mentalnya semua ngemis (include corruptor). ck ck ck hancur deh negara ini.

    sekali lagi thanks buat masukannya.

  9. @satya
    benar sih pengemis boleh pake hp, malah dianjurkan, jadi pengemis punya hp menunjukan bagaimana pendapatan perkapita di negeri ini, dan menunjukan bahwa negeri ini makmur dan sejahtera.
    tapi kalau di jadikan sebagai profesi profesional baru gak boleh. gak boleh atas dasar apa?
    yang pertama atas dasar (kemampuan) SDM, pertama kalau punya kemampuan buat cari kerja yang gak ganggu orang lain (e.g pemaksaan, gangguan ketertiban, pemerasan, penipuan) tentu akan lebih baik lagi. nah yang kita lihat ngemis itu kan orang-orang sehat semua (mayoritas) , yang ibu nya juga kelihatannya normal2 saja. jadi aneh kan kalau ngemis tapi badannya normal dan bisa cari kerja yang layak.
    jadi statement saya jadi paradok kan, saya bilang pengemis boleh pake hp, tapi saya juga bilang bahwa pengemis itu gak ada.
    kita pikir dari logika aja lah, yang namanya yang yang gak baek kan harusnya di hapuskan aja. termasuk itu praktek ngemis yang jadi komersialisasi.
    thanks atas komentarnnya.

  10. PERDA (peraturan daerah) kota Jakarta dimana tidak mengijinkan warganya memberikan sedekah untuk pengemis atau gelandangan dulu dinilai tidak efektif, tidak manusiawi dan terlalu berlebihan.
    Padahal maksud Bapak Sutiyoso adalah mencegah adanya ada agen-agen atau bandar pengemis selain itu juga Jakarta yang padat makin semerawut karna tunawisma makin merajalela.
    saya bukannya sinis terhadap fenomena maraknya pengemis dan gelandangan di jalanan tapi toh budaya meminta dan suka dikasihani masih melekat di bangsa ini.
    masalahnya kalau dengan mental seperti ini cerminan bangsa kita, apakah kita akan menjadi
    bangsa besar? bangsa maju?

Leave a comment