Bagaimana Peranan Militer Di Negara Demokrasi Seharusnya Di jalankan?

Bagaimana Peranan Militer Di Negara Demokrasi Seharusnya Di jalankan?

Oleh: Hendriko Firman

A B S T R A K

Militer menurut pendapat ahli yaitu:
Militer adalah semua hal yang berkaitan dengan profesi sebagai militer, kemiliteran/angkatan bersenjata dan operasi militer sedangkan Etika adalah semua hal yang berkaitan dengan moralitas, kebenaran atau prinsip-prinsip tentang kebenaran

A military is an organization authorized by its nation to use force, usually including use of weapons, in defending its country (or by attacking other countries) by combating actual or perceived threats. As an adjective the term “military” is also used to refer to any property or aspect of a military. Militaries often function as societies within societies, by having their own military communities, economies, education, medicine and other aspects of a functioning civilian society.

Militer adalah sebuah organisasi yang diberi wewenang oleh Negara untuk menggunakan kekuatan, biasanya termasuk menggunakan senjata, dalam mempertahankan bangsanya (atau menyerang Negara lain) dengan sesungguhnya menyerang atau merasa terancam. Dalam kata sifat istilah “militer” juga di gunakan untuk merujuk kepada beberapa peralatan atau aspek yang menyangkut militer. Militer sering berfungsi sebagai kelompok yang tanpa kelompok, dengan memiliki masyarakat militernya sendiri, ekonomi sendiri, pendidikan sendiri, kesehatan sendiri dan aspek lainnya dari fungsi kelompok sipil

Militer adalah angkatan bersenjata dari suatu negara dan segala sesuatu yang berhubungan dengan angkatan bersenjata. Padanan kata lainnya adalah tentara’ atau angkatan bersenjata. Militer biasanya terdiri atas para prajurit atau serdadu. Kata lain yang sangat erat dengan militer adalah militerisme, yang artinya kurang lebih perilaku tegas, kaku, agresif dan otoriter “seperti militer”. Padahal pelakunya bisa saja seorang pemimpin sipil.Karena lingkungan tugasnya terutama di medan perang, militer memang dilatih dan dituntut untuk bersikap tegas dan disiplin. Dalam kehidupan militer memang dituntut adanya hirarki yang jelas dan para atasan harus mampu bertindak tegas dan berani karena yang dipimpin adalah pasukan bersenjata.

Jadi pertanyaannya sekarang bagaimanakah peranan militer dalam peranan negara demokrasi?

Militer telah disinggung diatas tadi memiliki dunianya sendiri sehingga akibat peran inilah ia bisa melakukan intervensi ke dalam urusan politik. Dan di sisi lain di Negara-negara demokrasi berkembang peranan militer selalu berada di atas orang sipil berbalik di negara barat dimana kekuatan militer berada di bawah kekuatan sipil dan mereka menerimanya.
Secara garis besar kita bisa menemukan bahwa peranan militer yang seharusnya adalah tidak memberikan kekuasaan penuh ke militer di Negara yang pada bentuk konstitusi beralandaskan azas demokrasi. Dimana peran militer di redusir dan membuat akses-akses ke dalam kancah politik di minimalisir dimana dalam tatanan ini Negara yang awalnya masih bayi dalam menerapkan demokrasi pasti akan menghadapi tantangan dalam konflik antara para politikus yang dalam artian masih mementingkan peranan partai dan kepentingan kolektif yang tidak memandang azas rakyat sebagai Negara itu sendiri. Di sisi lain dalam konteks ini apabila dalam rutinitas tersebut apabila hal ini apabila terus berlanjut maka peran militer akan lebih dominan lantaran akibat tidak adanya sebuah aspek kepercayaan dalam sebuah Negara yang bisa dikatakan demokrasi semu ini, ini akan mengakibatkan Negara yang baru ini akan mengalami semacam atau prospek untuk melakukan kudeta di mana peran militer lah yang menjadi basisnya.
Demokratisasi Dalam studinya yang dilakukan di delapan negara ketiga, Robert P Clark (1996) menyimpulkan bahwa naiknya kekuasaan militer memang merupakan gejala umum di dunia ketiga sebagaimana maraknya otoritarianisme. Clark mengidentifikasi munculnya rezim militer di suatu negara senantiasa bersamaan dengan menjauhnya demokrasi dari negara yang bersangkutan. Memang, tidak semua kasus otoritarianisme disebabkan karena militerisme. Pada faktanya banyak juga negara otoriter yang dipimpin oleh rezim sipil. Namun, seperti kata Nordlinger, jika sebuah pemerintahan dikuasai oleh militer maka hampir pasti akan melahirkan otoritarianisme. Mengapa rezim militer lebih pro pada otoritarianisme? Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara formal, ideologi sebagai konsepsi kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena militer juga berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi kemerdekaan, maka konsep kenegaraan integralistik yang dipedomani dan dipertahankan militer juga bisa disebut sebagai bagian dari ideologi militer. Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan militer, dikenal dua konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh. Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep “perang rakyat semesta” dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang. Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah: Pertama, militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja harus dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat sipil. Kedua, karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai “musuh”.
Di sisi lain hal ini akan kita lihat setelah adanya suatu perebutan legitimasi antara orang-orang sipil dan orang orang militer yang dominan, dimana peranan masing-masing instansi akan membuat suatu tendensi yang berkepanjangan dan akhirnya rakyat adalah sebuah korban dari tidak efesien. Dalam struktur yang seperti ini tidak akan adanya suatu stabilitas Negara yang demokratis lantaran tidak berjalan secara semestinya peran dari orang-orang sipil dan orang-orang dari peran militer lantaran akibat tindih-mendih yang sangat dualisme. Disatu lain mereka tidak berpihak kepada satu azas yang pasti.
Dalam Negara-Negara yang baru merasakan demokrasi yang masih bayi hal ini tidak saja akan melahirkan beberapa masalah-masalah baru seperti suatu sektarian dalam berbagai instansi. Hal ini bisa kita lihat dari kekacauan dari pemerintahan Indonesia pada masa rezim soekarno yang tidak melakukan suatu balancing pada peran sipil dan peran militer. Bisa dilihat peran militer dikucilkan dengan adanya beberapa pengnonefesienan peran militer itu sendiri. Dan tidak berjalannya struktur lembaga yang efesien karena presiden merasa sebagai panglima militer, yang menganggap dirinya sebagai representasi dari AL AU dan AD. Sehingga tendensi pemerintah kepada militer tapi disisi lain adanya semacam penganak tirian dari pemerintah itu sendiri telah melahirkan berbagai kecumburaan social.
Dalam konteks reformasi politik, pembongkaran wacana hubungan sipil-militer merupakan hukum besi perubahan sosial ke arah terbentuknya tatanan politik demokratis. Inilah keharusan dari proses transisi otoritarianisme menuju demokrasi yang seharusnya makin disadari oleh setiap elemen militer dan para politisi sipil. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat posisi dan peran militer lebih kondusif bagi perwujudan demokrasi. Kekuatan militer yang dibutuhkan dalam suatu negara demokrasi bukanlah tipe militer pretorian, tetapi militer yang profesional sebagai kekuatan pertahanan (eksternal) negara yang oleh sosiolog Louis W Goodman disebut sebagai tujuan utama militer. Senada dengan Goodman, Stevan Melnik-salah seorang thinker partai liberal Jerman-menegaskan: As far the professional military forces must be out of politics.
Adanya sifat yang tegas di tubuh militer dalam Negara demokrasi membuat badan ini menjadi sangat kuat dan teguh dalam hirarki sturukturalnya dimana perannya yang sangat tegas ini baik ke luar (eksternal) dan kedalam (internal) mengakibatkan militer menjadi tidak demokratis karena ia menerapkan suatu command sebagai putusannya bukan suara terbanyak. Organisasi militer, menurut Janusz Onyszkiewicz, wakil Partai Perserikatan Kebebasan di Parlemen Polandia, merupakan entitas yang tidak demokratis (a completely undemocratic entity) dalam suatu negara demokrasi, seperti halnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang menganut hierarki ketat. Yang membedakan di antara keduanya adalah bahwa organisasi militer bukan semata institusi otokratik (autocratic institution) yang selalu menuntut loyalitas dan komitmen total dari para anggotanya, lebih dari itu juga dirancang sebagai kekuatan represif untuk melayani kepentingan negara.
Masalahnya, kepentingan negara tidak selalu identik dengan kepentingan rakyat seperti pernah digugat Marx dengan teori negara kelas. Pengalaman Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru yang lalu menunjukkan betapa perilaku negara bergerak di antara dua kutub kepentingan. Kutub pertama dan yang utama adalah kepentingan modal internasional yang nyaris sepenuhnya menjadi “tuan asing”. Sedangkan kutub kedua adalah kepentingan negara itu sendiri yang direpresentasi oleh kepentingan pemerintah (birokrasi sipil dan militer). Pada sisi yang lain kepentingan rakyat banyak terabaikan, atau paling-paling terjadi ideologisasi bahwa kepentingan negara identik dengan kepentingan rakyat. Faktanya, rakyat acapkali tidak memperoleh manfaat yang berarti dari kinerja kekuasaan negara, dan bahkan sebaliknya tertindas karenanya . Karena itulah dalam strukturalnya militer acapkali hanya berisikan sebuah institusi yang massiv tapi sifatnya itu minor karena dia tidak punya improvisasi dalam hal kenegaraan.
Sebagai institusi otokratik dan sekaligus represif, militer berkecenderungan menegakkan otoritarianisme kekuasaan. Makanya militer sering dianggap sebagai ancaman demokrasi, meskipun dalam batas-batas tertentu ia bisa memberi makna bagi perwujudan demokrasi. Sejarah bangsa-bangsa di dunia mencatat bahwa militer menegakkan otoritarianisme kekuasaan diktator personal dan melayani kepentingan sang penguasa. Ia tidak dikontrol oleh rakyat, melainkan oleh agen-agen dan kroni kekuasaan sang diktator. Dalam negara dengan rezim militer, ia mengontrol diri sendiri dan menegakkan otoritarianisme untuk kepentingan dan misinya sendiri. Sementara dalam rezim satu partai seperti di bekas negara-negara komunis, militer menegakkan otoritarianisme kekuasaan partai, dan tentu saja ia juga dikontrol oleh partai yang berkuasa. Kecenderungan itulah yang harus direformasi. Artinya, bagaimana kekuatan militer tidak lagi terjebak dalam kepentingan kekuasaan belaka, melainkan lebih melayani kepentingan rakyat dalam arti yang seluas-luasnya dan sebenar-benarnya. Sebab untuk konteks Indonesia, track record militer yang terjebak dalam arus kepentingan kekuasaan sangat jelas, yakni ketika militer melayani kepentingan subyektif kekuasaan rezim Soekarno, rezim militer Soeharto, dan rezim transisional Habibie. Kesemua itu adalah sejarah kelabu penindasan demokrasi di Indonesia.

Adalah otoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara untuk mendefinisikan posisi dan peran militer. Rakyat, yang merupakan entitas politik sipil, berwenang menentukan dan sekaligus mengontrol peran dan fungsi militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Janusz, kontrol sipil atas kekuatan militer merupakan aksioma demokrasi. Hal ini sebenarnya sejalan dengan doktrin TNI yang setiap saat kita dengar: Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk TNI. Dengan begitu kita sesungguhnya berharap profesionalisme militer dapat segera terwujud di Negara Negara yang baru melek demokrasi termasuk itu Indonesia.
Dalam negara demokrasi, supremasi dan kontrol sipil atas militer merupakan conditio sine qua non, demikian halnya dengan profesionalisme militer itu sendiri. Premis ini telah diterima secara luas oleh dunia internasional dan menandai terjadinya progresivitas politik di negara-negara demokrasi baru seperti di belahan Afrika Selatan, Asia, Amerika Latin, dan bahkan di bekas negara komunis Eropa Timur. Inilah yang menjadi counter attack positif sendiri bagi rezim diktatorian yang menganut militer sebagai basis akomodasi politiknya sehingga nantinya suatu kekuasaan yang kejam terhadap rakyatnya akan melahirkan Negara yang akan tumbuh menjadi Negara demokrasi. Tapi ini tentunya akan terjadi secara evolusi yang dimana tidak manusiawi.
Yang ingin dikatakan di sini adalah bahwa kontrol sipil dan profesionalisme militer telah menjadi fakta dari pertumbuhan negara-negara di dunia ke arah pembentukan sistem pemerintahan demokrasi. Suatu sistem pemerintahan yang oleh Dalai Lama (1997) disebut yang terdekat dengan hakikat kita sebagai manusia dan merupakan pondasi yang stabil di mana di atasnya dapat dibangun struktur politik dunia yang adil dan bebas. Fakta global itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi upaya rekonstruksi relasi sipil-militer yang benar-benar kondusif bagi demokratisasi. Tidak sejalannya kekuatan sipil dan militer dalam Negara yang di cambuk oleh kekuatan militer tentunya akan melahirkan suatu perasaan didiskreditkan makanya akibat tidak adanya control demokrasi yang transparan dan indpenden rakyat akan merasakan bahwa demokrasi nantinya akan menjadi romantisme dalam sebuah Negara yang dikukung oleh militer yang agresif dan melek politik.
Namun demikian, semua itu tergantung pada tiga entitas politik utama, yaitu para politisi sipil, petinggi-petinggi militer dan para pemimpin masyarakat sipil. Para politisi sipil, baik di jajaran eksekutif maupun legislatif, dituntut soliditasnya agar benar-benar kuat alias tidak terpecah-pecah. Politisi sipil yang terpecah-pecah, tidak kompak dan saling serang hanya akan membuka pintu bagi intervensi militer ke dalam politik, baik melalui kudeta maupun intervensi prerogatif dan kekuasaan. Sementara itu, para petinggi militer dituntut untuk berkonsentrasi pada tugas utamanya, yaitu pertahanan (eksternal) negara dan sejauh mungkin meminimalisasi intervensinya ke dalam politik kenegaraan. Militer harus mulai percaya pada kemampuan politisi sipil menjalankan kekuasaan negara, dan memberikan jaminan atas berlangsungnya kekuasaan secara regular. Di pihak masyarakat sipil harus mulai melakukan peran strategisnya dengan berpartisipasi secara aktif dalam proses kontrol terhadap peran militer maupun politisi sipil itu sendiri. Ini penting agar para politisi sipil dan militer tidak keluar dari garis mandat yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka. Perlu dicatat bahwa pemberian mandat oleh rakyat kepada politisi sipil tidak berarti penyerahan seluruh kedaulatan kepada mereka. Hal itu bersifat relatif. Dengan demikian sangat dimungkinkan bagi masyarakat sipil untuk mengungkapkan kritik dan aspirasi-aspirasinya melalui saluran nonpolitik. Meski demikian harus ditegaskan pula bahwa pemanfaatan dan sekaligus penguatan saluran politik akan lebih mempercepat proses pelembagaan demokrasi. Dalam tataran seperti inilah seharusnya peranan militer dan responsivitasnya terjadi di Negara-negara demokrasi. Dan adapula menjadi kendala yang sangat serius adalah Negara-negara yang baru menerapakan demokrasi modern karena mereka masih belum mempunyai azas kesatuan yang sama dibawah payung demokrasi itu sendiri, sehingga tak pelak kita melihat di Negara-negara yang baru memulai demokrasi yang terjadi adalah suatu hagemoni dan monopoli politik yang tidak seimbang di antara kedua belah pihak antara militer dan sipil. Hal ini menjadikan situasi politik di Negara tersebut mengalami siklus ganda (double cycle) atau terjadi perebutan balas dendam kekuasaan untuk merebut peran tersebut dan tidak menghiraukan progresifitas dari jalannya demokrasi Negara tersebut. Itu bisa kita lihat di Negara Indonesia sendiri yaitu politik yang terlalu kuat di Orla dan militer yang terlalu kuat di Orba. Hal ini melahirkan tesa sipil di Orde lama dan Orde baru melahirkan sintesa dan pada reformasi melahirkan jawaban atas antitesa yang dimana hal itu dijawab dengan peranan militer yang saling mem-backing satu sama lain agar tetap terfokus kepada rakyat dan demokrasi.
Menariknya dalam kasus kasus Negara yang baru menerapkan ide demokrasi hal ini tidak sejalan akhirnya dengan kebijakan dalam negeri itu sendiri seperti contoh kasus di Orde baru Indonesia yang militer sebagai shoulder legitimasinya dimana ia menerapkan kebebasan ekonomi tapi perannya di Negara tidak demokratis justru ia malah menekan kedalam institusinya sendiri, bukan keluar dari ranah institusinya untuk bisa menerepakn reformasi kebijakan dan pengeneralisasian diktatornya dalam situasi kondusif melalui represif tindakan militer adalah salah. Seperti yang dikatakan oleh Siddharth Chandra dan Douglas Kammen bahwa:
“Soeharto new order began as a typical hierarchical military regime (1965-1974), took and additional characteristic of bureaucratic authoritarianism, (1975-88), and during its last decade came increasingly resemble sultanic regime (1989-1998). As the nature of regime changed, so too did the political position of the military. While soeharto was careful to maintain control over the appointment of senior officers and sought to prevent the military form becoming and independent political actor, the military nonetheless enjoyed a reasonable degree of administrative freedom, particularly in the appointment and promotion of lower and middle ranking officer.

Seyongyanya peran militer dalam tatanan dunia barat yang masih bisa dikatakan baik adalah kekuatan mereka yang stabil karena berjalannya sebuah good governance yang baik karena impul-impul dari pendukungnya berkerja dengan baik sehingga menghasilkan kekuatan dan rasa saling kepercayaan dalam politk yang mendasari lahirnya demokrasi yang otokritik dan ballance. Hal ini dikatakan oleh Ayuzumardi Azra dalam paparannya yang mengatakan bahwa good governance adalah salah satu hal yang wajib di dalam Negara demokrasi sehingga:
”government is of course only one of the actors in the governance. There are many other actors outside of the executive branch of government, including legislative and judicative branches which play an important role in decision making process. Even in a wider sense, other non government actors that also play a role in decision making or in influence decision making progress, can be called as actors of governance; they are, for instance, civil society organizations and groups, NGOs, research institutes, political parties, the military, religious leaders, public intellectuals, and others. But, above all, it is government especially that is central in the creation for good governance.

Hal selanjutnya yang perlu dikritisi adalah peran militer di dalam Negara demokrasi yang menerapkan asas ekonomi yang tidak transparan sehingga oknum militer bisa menjadi kabur dan akhirnya bisa mengakibatkan perimbangan pendapatan yang sebelumnya kepada sipil atau pun tidak adanya perbaikan salary dari militeris atau tentara maka akan melahirkan tindakan penyimpangan. Hal ini bisa kita lihat di Negara yang berdemokrasi di dalamnya masih dibayangi romantisme yang kandas dari pemimpin sebelumnya itu bisa kita lihat dari contohnya Indonesia yang dimana ia dalam romansanya dengan rezim soeharto melahirkan anak emas terhahadap anak nya sendiri dan, akhirnya munculah apa yang disebut kronisme. Dan tak pelak lagi militer yang punya ekses dan kelonggaran dalam hukum bisa mencari celah untuk mendapatkan pendapatan tambahan. Dan hal itu di lakukan dengan “kerja sama” ataupun dengan tindakan pungli. Hal ini bisa menjadi contoh adalah militer yang terjun kedalam praktek-praktek birokrasi.
Dimana golongan birokrasi militer, yang telah mendapat basis ekonomi bukan dari pemilikan modal swasta, tetapi dengan menggunakan kekuasaan dan jabatan birokrasi. Dengan kekuasaan dan jabatan birokratis ini memungkinkan komando-komando tertentu mempunyai akses (terobosan masuk) dalam pasaran ekonomi, sampai ke daerah-daerah. Dengan cara menduduki pusat-pusat kekuasaan dalam birokrasi Negara dagang yang patrimonial, mereka mendapat bagian dari keuntungan yang dihasilkan oleh modal asing dan modal Cina.
Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya diterapkan di Negara-negara demokrasi. Dimana peran militer yang seharusnya terjadi dalam basis ekonomi adalah menitikberatkan pada keamanan yang in dan out itu bisa kita lihat di Negara-negara barat yang telah mapan.
KESIMPULAN
Tak terbantakah lagi bahwa seyongyanya peranan militer dalam Negara demokrasi adalah ibarat pedang bermata dua apabila ia tidak di atur dengan cara ataupun system yang demoktatis maka ia akan memakan negaranya sendiri dalam bentuk Negara yang dictator militer. Sehingga pulalah ketentuan yang ada hanya akan melahirkan berbagai masalah kudeta yang berkepanjangan mengingat adanya peran yang tidak imbang dalam tataran pendemokrasian. Di lihat dari sudut pandang yang lain ketentuan pola lain dari hal ini tidak akah berjalannya system demokrasi yang benar.
Perlu di ingat bahwa adanya semacam peran dari institusi lain ataupun dari masyarakat untuk melakukan semacam pengawasan terhadap tindak-tanduk militer yang kita ketahui bahwa ia memiliki norma-normanya sendiri yang tentunya tidak bisa diremehkan mengingat sectarian keberpihakannya memiliki unsur yang loyalitis yang fanatis ataupun normal.
Sedangkan yang terjadi seharusnya peranan militer di Negara demokrasi adalah tidak ikut campur dalam politik, focus kepada bidangnya dalam HANKAM, netral dalam politik, berswadaya dalam masyarakat, walaupun tidak punya peran yang tegas dalam politik kekuasaan seyongyannya militer juga harus siap dengan keadaan darurat untuk member sumbangsih dalam politik tapi sifatnya yang sementara. Dalam hal ini militer juga harus pandai membaca situasi poliltik karena bisa jadi militer ditunggangi oleh politisi ataupun oleh parpol untuk melakukan perbuatan yang diluar wewenangnya untuk bisa menghalalkan kekuasaan segilintir orang dimana pada saat itu militer seharusnya melihat pada pimpinan yang lebih tinggi, yaitu kepentingan rakyat, apakah benarkah ini situasi yang krusial atau hanya sabotase dan propaganda dari elite.
Tidak riskan lagi kalau kita mengatakan bahwasanya militer harus netral dan objektif, dimana dalam Negara demokrasi peran masyarakat juga memainkan peranan penting dalam hal ini dimana Di samping itu masyarakat sipil juga harus kuat, solid, tidak terpecah-pecah dan tidak mudah terprovokasi. Di antara elemen masyarakat sipil sudah seharusnya dibangun iklim dialog dan kerja sama kualitatif untuk pembebasan bersama dari kungkungan situasi yang terus memburuk. Dengan begitu masyarakat sipil dapat mengatasi vulnerabilitas internalnya yang potensial menjebaknya ke dalam konflik-konflik horizontal sebagaimana fenomena konflik sosial dan kerusuhan-kerusuhan dewasa ini.
***

D A F T A R K E P U S T A K A A N
— Ahmad Adaby Darban. Pengaruh akar budya politik budaya pada dinamika politik ekonomi di Indonesia. Universitas Muhamadiyah press. Malang. 2001

— Azyumardi Azra. Religious-based civil society, and anti-corruption campaign. An Indonesia experience in the creation of good governance. Paper untuk konferensi civil society, religion and global governance: paradigms of power and persuasion. Canberra. 2005

— Gardiner, Juliet. What is History Today…?. MacMillan Education. London. 1988

— Muh Hanif Dhakiri. Harian Kompas. Rabu, 16 Februari 2000.

–Siddharth Chandra dan Douglas Kammen. Generating Reforms and reforming generation military politic in Indonesia democratic transition and consolidation. Dalam World Politics. Academic Research Library. 2002.

http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala
http://en.wikipedia.org/wiki/Military
— http:// Kammi.or.id

Author: HFK

Stay Hungry. Stay Foolish.

Leave a comment